Perjalanan dalam berusaha untuk tetap berada di lingkungan yang positif

Donni Prabowo
7 min readApr 29, 2020

--

Seorang motivator terkenal bernama Jim Rohn (Mentor dari Anthony Robbins) berkata “You are the average of the five people you spend the most time with”.

Saya bersama 24 penerima Australia Award Scholarship lainnya. (Sydney, 2018)

Apa yang diungkapkan oleh Jim Rohn pada kalimat pembuka pada artikel ini menggambarkan betapa besarnya pengaruh lingkungan dalam menentukan keberhasilan seseorang mencapai tujuan hidupnya. Kualitas diri kita merupakan hasil dari nilai rata-rata kualitas 5 orang terdekat kita.

Dalam ajaran Agama Islam juga ada hadist yang mengatakan bahwa “Barang siapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka”. Yang pointnya juga sama, mengingatkan kita akan besarnya pengaruh lingkungan.

John C. Maxwell dalam bukunya yang berjudul Winning with People: Discover the People Principles that Work for You Every Time, juga mengatakan hal serupa.

“People can be the wind beneath our wings or the anchor on our boat.”

Dia mengatakan bahwa ada dua tipe orang di Dunia ini. Pertama, mereka yang menjadi “angin di bawah sayapmu” (wind beneath your wings), yang mampu membuat kita terbang lebih tinggi. Mereka mendorong kita untuk terus maju dan berkembang. Namun ada juga tipe kedua yaitu mereka yang menjadi “jangkar bagi kapalmu” (anchor on your boat). Mereka akan membuat kapal kita kandas. Untuk itulah kita harus berhati-hati, kadang-kadang tanpa kita sadari, kehadiran para jangkar ini justru membuat kita sulit untuk berkembang.

Pada intinya semua tokoh di atas mempunyai kesamaan pandangan bahwa lingkungan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perjalanan hidup seseorang. Saya pun meyakini dua faktor terbesar yang menentukan kesuksesan seseorang adalah lingkungan dan mindset. Dua hal ini menurut saya bagaikan dua mata uang yang tak terpisahkan. Jika kita berada di lingkungan yang baik, maka mindset kita juga menjadi lebih mudah terdorong untuk lebih positif. Jika mindset kita sudah positif, kita juga akan menjaga diri untuk tetap berada di lingkungan positif. Mungkin itu adalah bentuk Continuous Improvement, iterasi yang tidak ada habisnya. Dalam bahasa Jepang sering disebut dengan istilah Kaizen.

Memilih untuk Bersyukur

Pada artikel saya sebelumnya yang berjudul Define Our Purpose of Life Earlier , saya bercerita bahwa saya termasuk salah satu orang yang terlambat untuk menentukan purpose of life saya. Namun dari pada menyesalinya, saya memilih untuk bersyukur. Saya bersyukur karena masih diberikan waktu untuk menyadarinya, sesungguhnya apapun keadaannya kita masih tetap bisa bersyukur.

Terlambat menentukan purpose of life biasanya juga berakibat pada terlambatnya memilih lingkungan yang tepat. Namun meski begitu, saya akan coba bagikan point-point dalam perjalanan hidup saya yang bisa disikapi dengan positif dan penuh rasa syukur.

Lingkungan SMP

Dalam tulisan saya yang berjudul Tentang Relativitas, Kaya Miskin, Pandai Bodoh, Sukses Gagal. Apakah semua itu Relatif? , saya sudah ceritakan bahwa ketika saya masuk SMP, saya berada di urutan 210 dari 240 siswa. Itu artinya, saya berada di lingkungan dimana banyak orang yang lebih pintar dari saya. Dampaknya, saya lulus SMP dengan nilai rata-rata 9.0, bahkan saya mendapatkan nilai 10.00 untuk ujian nasional mata pelajaran matematika. Namun semua itu menjadi terasa biasa saja, karena memang banyak sekali yang nilainya jauh lebih baik dari saya.

Hal yang perlu disyukuri adalah dengan kita berada di lingkungan yang mendukung, mungkin saja kita jadi merasa bodoh dan tak berguna. Namun sesungguhnya kita bodoh di antara orang-orang pintar, dan itu jauh lebih baik dibanding pintar di antara orang-orang bodoh.

Lingkungan SMA

Ketika SMA, saya berteman cukup dekat dengan 4 orang, Kita berteman dari kelas 10 SMA sampai kelas 12 SMA. Dan lagi-lagi bisa dibilang saya yang paling “bodoh” dari sisi akademik. Dari group saya tersebut, hanya saya seorang yang sukses tidak diterima di Universitas Gajah Mada. Bahkan 1 diantaranya di terima di STAN dan di UGM.

Hal yang perlu disyukuri adalah saat itu berarti saya masih tetap berada di lingkungan orang-orang yang pintar.

Lingkungan Kuliah

Berbeda dengan masa SMP dan SMA, saat kuliah saya berada dilingkungan dimana saya menjadi salah satu mahasiswa yang cukup terlihat berprestasi. IPK saya mendekati 4.0, hanya ada beberapa SKS dengan nilai B, sisanya mendapatkan nilai A. Disini saya menyadari tentang teori relatifitas, pintar bodoh, kaya miskin, kuat lemah, tinggi pendek bisa dipandang sebagai suatu hal yang relatif. Dengan menyadari hal itu, kita jadi tidak minder dan tidak pula sombong. Jadi mungkin saja ketika saya masuk kuliah, sebenarnya kemampuan saya ya sama saja dengan waktu SMA, namun karena berada dilingkungan berbeda maka terlihat berbeda pula.

Di saat kuliah ini, di Universitas Amikom Yogyakarta saya mulai terbuka untuk terus mencari lingkungan yang positif dimana saya bisa berkembang didalamnya. Saat itu menjadi mahasiswa biasa bukan lagi pilihan yang tepat, karena dikelas saya sudah cukup dominan. Untuk itu saya mencoba untuk mencari lingkungan baru dimana saya dapat mencari teman yang menurut saya jauh lebih jago dari saya. Lalu saya mencoba mendaftar menjadi Asisten praktikum, dan akhirnya diterima. Disitu saya mulai merasa bahwa saya masih harus banyak belajar dari Asisten Praktikum lainnya, banyak asisten-asiten praktikum yang jauh lebih jago dari saya. Saya sengaja mendaftar asisten praktikum dilintas bidang ilmu, dengan harapan bisa memiliki teman dari lintas bidang Ilmu yang jago-jago. Umumnya mahasiswa mendaftarkan diri dan focus untuk suatu rumpun tertentu, Pemrograman misalnya. Namun saya mencoba mendaftar di lintas bidang ilmu seperti Design Grafis, Multimedia, Jaringan, Sistem Operasi, maupun Pemrograman.

Hal yang bisa disyukuri adalah akhirnya saya punya banyak temen di lintas bidang ilmu yang ternyata banyak manfaatnya dikemudian hari.

Lingkungan Kerja (kerja sambil kuliah)

Tak lama setelah gabung menjadi asisten praktikum dan sudah punya beberapa teman di lintas bidang ilmu, saya merasa sudah saatnya mencari lingkungan baru.

Lalu di akhir semester 3 saya memutuskan untuk daftar sebagai Student Staff dengan peran sebagai Junior Progammer di Direktorat Innovation Center. Saya merasa di direktorat ini saya berkembang dengan cukup pesat, saat itu lingkungan disana sangat supportif. Di lingkungan inilah akhirnya saya bertemu dengan orang orang hebat dibidangnya masing-masing, ada Afif Bimantara dan Kharisma Cendhika Putra selaku designer hebat dari Jogja. Mereka bahkan terpilih untuk mewakili Indonesia diajang kompetisi Design UI/UX di USA. Orang-orang yang tak kalah hebat lainnya adalah Syarif Hidayat, Nurudin Wiranda, dan Farizal Tri Anugrah . Mereka adalah engineer-engineer hebat.

Hal yang bisa disyukuri adalah dengan kenal dengan orang-orang hebat kita jadi berpeluang lebih besar untuk bisa merealisasikan gagasan kita. Akhirnya bersama beberapa orang hebat tersebut saya mencoba mengarungi dunia baru, yaitu dunia kompetisi produk teknologi.

Lingkungan Kompetisi

Dunia kompetisi tampaknya menjadi dunia yang baru buat kami. 1 tahun mencoba hasilnya gagal terus. Namun dari situ kami sadar bahwa menjadi cukup menonjol di lingkungan kampus sendiri, belum tentu berlaku sama ketika kita berada di lingkungan berbeda. Lagi-lagi berlaku teori relatifitas.

Untungnya berkali-kali gagal tidak membuat kami menyerah, mungkin juga karena lingkungannya supportif. Setelah belajar dari pengalaman dan terus belajar untuk lebih baik lagi, akhirnya kami bisa memenangi kompetisi teknologi tingkat Nasional, dan beberapa kali ditunjuk sebagai wakil dari Indonesia di ajang Internasional.

Dunia kompetisi sunguh mengubah mindset saya, di dunia kompetisi ini saya dilatih menjadi seorang problem solver. Berkali-kali mendapatkan mentoring dari mentor-mentor kelas Nasional, tokoh-tokoh teknologi dan bisnis nasional. Di dunia ini pula semangat entrepreneurship saya mulai terbentuk, dimana saya justru jatuh cinta dengan dunia entrepreneurship. Di lingkungan ini pula saya kenal dengan semakin banyak orang hebat skala Nasional.

Hal yang bisa disyukuri adalah bisa mengenal lebih banyak orang hebat secara lebih dekat dan mengetahui cerita dari perjalanan hidupnya membuat saya serasa memiliki bahan bakar ekstra untuk berkembang.

Lingkungan Profesional dan Wirausaha

Singkat cerita, setelah lulus saya memulai usaha saya sendiri dibidang Digital Agency, bernama PT. Jendela Digital Indonesia. Waktu itu salah satu produk kami di Inkubasi di ABP Incubator. Dan beberapa tahun setelah itu akhirnya saya bergabung dengan Amikom.

Menciptakan sendiri lingkungan dan company culture

Di perusahaan saya, PT. Jendela Digital Indonesia. Core Value yang saya angkat dan coba saya tanamkan ke semua tim yang terlibat adalah “Delivering Happiness with Innovative Technology” . Kami percaya, disetiap hal yang kita lakukan di company kami, endingnya adalah menyampaikan kebahagiaan kepada internal tim , stakeholder maupun client kami. Happy hanya dapat tercipta jika kami mampu melayani dengan ikhlas, menyelesaikan dan memberikan solusi yang secara kongkrit mampu membantu menyelesaikan permasalahan stakeholder dan client.

Sedangkan di lingkungan ABP Incubator, saat saya join saya relatif bekerja sendirian, dan banyak pekerjaan yang saya tangani sendiri. Mulai dari membuat logo, membuat website, mengatur program, networking dan lain lain. Sampai akhirnya bisa merekrut orang untuk membantu pekerjaan di entitas ini.

Hal yang bisa disyukuri adalah karena awalnya saya bekerja sendirian dan diberi ruang berkreasi yang cukup luas maka saya bisa melakukan eksplorasi-eksplorasi pada entitas ini. Sampai suatu ketika karena teamnya juga sudah mulai banyak, akhirnya ada kebutuhan untuk menciptakan iklim kerja yang positif dan lingkungan kerja yang positif.

Di entitas ini peran saya sedikit berbeda, biasanya saya memutuskan untuk memilih lingkungan yang positif, namun di sini saya juga mendapatkan PR untuk membangung lingkungan yang positif.

IKIGAI adalah nilai hidup yang lahir dari kebiasaan orang Jepang

IKIGAI, mungkin sebagian dari kita sudah cukup familiar dengan istilah tersebut. IKIGAI adalah nilai hidup yang lahir dari kebiasaan orang Jepang. Istilah Ikigai berasal dari ‘Iki’ yang artinya kehidupan dan ‘Gai’ berarti nilai. Jadi IKIGAI adalah tentang tujuan dan nilai hidup. Lewat IKIGAI ini, kamu dapat menilai apakah sebenarnya pekerjaanmu saat ini memang pekerjaan yang bisa mengeluarkan potensimu dan kebahagiannmu secara maksimal. Butuh waktu memang untuk menemukan IKIGAI seseorang.

Kembali ke masalah menciptakan lingkungan yang positif di lingkungan ABP Incubator, saya mencoba mengadopsi konsep IKIGAI dan meleburkan ke dalam culture di entitas ABP Incubator ini. Saya mempunyai harapan, kami di ABP Incubator bisa membantu setiap orang yang ada di entitas ini untuk menemukan IKIGAI-nya masing masing.

Value / Culture dari ABP Incubator

Menciptakan lingkungan yang positif yang sesuai dengan value kita tentu saja lebih sulit di bandingkan dengan memilih lingkungan yang positif. Diperlukan konsistensi dan harus disampaikan secara terus menerus agar mampu mendarah daging ke setiap lapisan element yang terlibat. Saya juga masih butuh berlajar banyak terkait hal ini.

Mudah-mudahan artikel ini ada manfaatnya, saya juga senang jika bisa mendengar cerita dari kamu terkait pengalaman kamu dalam menemukan lingkungan lingkungan positif versi kamu sendiri.

--

--

Donni Prabowo
Donni Prabowo

Written by Donni Prabowo

Startup Ecosystem Player | CEO PT. Jendela Digital Indonesia | Director at ABP Incubator | Regional Head at UMG Idealab (C.V.Capital) | donni.official@gmail.com

No responses yet